JAKARTA - Membuat lahan parkir di sebuah  gedung bertingkat tinggi banyak hal yang harus dipertimbangkan. Mulai  efisiensi di tengah lahan yang serba sempit hingga tingkat keamanannya.
Lahan  parkir akan menjadi masalah besar bagi wilayah Ibu Kota seperti  Jakarta. Terbatasnya lahan, meningkatnya jumlah kendaraan, area semakin  berjubel dengan gedung dan pemukiman, sehingga sulit untuk mencari lahan  parkir yang aman.
Bahkan beberapa kasus kecelakaan yang terjadi  di lahan parkir memang cukup menyita perhatian. Bagaimana seharusnya  membangun lahan parkir di Jakarta?
Ketua Umum Ikatan Arsitek  Lansekap Indonesia (IALI) DKI Jakarta, Bagus Tatang Dewantoro  menyatakan, untuk wilayah DKI Jakarta cocoknya menggunakan lahan parkir  bertingkat.
"Di Jakarta cocoknya itu ya lahan parkir bertingkat.  Karena terbatasnya lahan dan tingkat keamanannya," katanya saat  dihubungi, Kamis (24/1/2008).
Meski demikian, Bagus menegaskan  bahwa desain lahan parkir memang krusial, namun lebih krusial adalah  konstruksi bangunannya. Jadi berbagai macam desain, baik lahan parkir  bertingkat, basement atau lainnya tidak akan menemui masalah apabila  konstruksi desain bangunannya sesuai standar dan kriteria.
Misalnya  untuk membuat parkir bertingkat di sebuah gedung, maka harus  dipertimbangkan kekuatan dari tembok penghalangnya. Bisa diikat dengan  besi dengan jarak 0,5-1 meter ada satu besi agar tembok tersebut menjadi  kuat menghadapi benturan. Bukan sekedar tembok batu bata.
"Tembok penghalang menjadi rentan apabila pengikatnya tidak terlalu kuat," ujarnya.
Dia  mencontohkan, sebuah gedung yang tahan gempa apabila struktur  bangunannya didesain dengan ideal, maka pelaksanaannya di lapangan pun  harus sesuai dengan rencana. Meskipun tidak menafikan, pelaksanaan  pembangunan sebuah gedung terkadang tidak sesuai dengan rancang  bangunnya.
Sehingga menurut dia, bukan masalah tembok atau  pencahayaan di tempat parkir. Namun lebih dari pelaksanaan konstruksi  tembok tersebut.
"Tembok atau lampu itu nggak masalah karena itu  di asesorisnya. Namun yang lebih penting konstruksinya harus sesuai  standar," paparnya.
Bagaimana lahan parkir yang ideal untuk  Jakarta? Menurut Bagus, lahan parkir bertingkat sangat cocok untuk  Jakarta. Sempitnya lahan, bertambahnya jumlah kendaraan, dan mahalnya  harga lahan membuat parkir bertingkat paling rasional untuk dipilih.
Berkaca  dari lahan parkir yang ada di Jepang, ada sebuah contoh lahan parkir  dengan dua lantai seluas 1.000 meter persegi yang bisa dibongkar pasang  (knock down). Letaknya di luar gedung perkantoran, dan pembangunannya  hanya membutuhkan waktu. Meski bisa dibongkar pasang, namun struktur  bangunannya sangat kuat dan mampu menampung banyak mobil.
"Kalau  kita ingin menirunya ya syah saja, dengan teknologi yang sama namun  harus menggunakan bahan materialnya 100% Indonesia. Itu bisa dilakukan,"  paparnya.
Memang tidak semua gedung di Jakarta memiliki lahan  untuk parkir, atau menyediakan lahan parkir bertingkat. Sebab selain  membutuhkan lahan tersendiri, juga secara bisnis investasinya lumayan  mahal. Contohnya Hotel Sari Pan Pacific yang hingga saat ini parkirnya  masih menggunakan area depan dan belakang seputar gedung.
Menurut  Public Relation Officer Hotel Sari Pan Pacific, Danang Ambar Kreshno,  hotel yang didirikan sejak tahun 1976 itu dulunya memang tidak memiliki  konsep lahan parkir bertingkat ataupun basement. Sebab di masa gedung  ini didirikan, tanah sekitar gedung masih luas dan belum seperti  sekarang. Sehingga saat itu lahan parkir masih menggunakan area sekitar  hotel yang cukup luas.
"Namun dengan perkembangan saat ini,  ternyata area semakin sempit dan lahan semakin mahal. Akhirnya jika area  parkir kami tidak memadahi kami bisa menyewa lahan parkir di gedung  sebelah. Yaitu di Jakarta Theatre," katanya.
Memang tidak semua  gedung harus memiliki lahan parkir sendiri. Bahkan menurut Presiden  Direktur PT Forum Lima Kreasi, sebuah perusahaan konsultan properti,  Nugroho Widhi, hal itulah yang berlaku di Amerika Serikat. Sehingga  lahan parkir memang disediakan khusus dalam satu gedung untuk beberapa  gedung, misalnya satu gedung parkir per 10 gedung perkantoran. Dengan  demikian, mendorong budaya jalan kaki pada masyarakat sehingga teratur  serta lebih efisien.
Namun setiap gedung memang dibangun jembatan (sky way) yang membuat masyarakat menjadi lebih nyaman untuk berjalan kaki.
"Jadi  memang sistem perparkiran itu memang diatur betul dan direncanakan  dengan matang," ujar orang yang juga anggota Ikatan Arsitektur Indonesia  ini.
Model sky way ini memang brilian. Sebab selain menjadi  lebih teratur juga meningkatkan lapangan kerja. Pada tiap sky way atau  jembatan penghubung antar gedung yang diatur melingkar itu dibuka banyak  toko dan bisnis jasa kebutuhan sehari-hari mulai laundri, toko baju,  telekomunikasi, dan lain-lain. Sehingga masyarakat pejalan kaki tidak  menjadi tidak jenuh dan tidak berasa ketika berjalan kaki. Selain itu  suhu udara dalam sky way diatur dengan pendingin atau penghangat ruangan  sesuai dengan kondisi cuaca.
Selain itu menambah lapangan kerja, dengan dibukanya lahan usaha baru di sky way tersebut.
"Kayaknya  sekarang pemerintah Indonesia sedang mulai melirik model ini. Namun  kita tunggu saja, apakah model ini yang akan diberlakukan untuk  mengatasi masalah perparkiran di Jakarta," paparnya.
Dengan  adanya mainstream baru green architecture, menurut Nugroho, kedepannya  lahan parkir bertingkatlah yang akan semakin dikembangkan.
Yakni  lahan parkir yang lebih hemat energi. Sebab kalau lahan parkir ke bawah,  yakni di basement membutuhkan energi cukup besar baik untuk pencahayaan  maupun sirkulasi udara. Selain itu dengan mengadopsi model parkir yang  diberlakukan di Minneapolis AS tersebut, pengendara mobil akan  memarkirkan mobilnya di gedung parkir yang sewanya sesuai dengan  kantongnya. Sebab semakin mendekati pusat kota, biaya parkir semakin  mahal. Sehingga mengurangi polusi akibat berjubelnya mobil pribadi.
"Namun  ini harus ditunjang dengan sistem transportasi publik yang mapan. Sebab  biasanya ke tempat tujuan setelah memarkirkan mobilnya, kemudian mereka  naik bus untuk bisa mencapai sky way menuju tempatnya bekerja,"  paparnya.
Namun cara ini, menurut Ketua Umum Himpunan Ahli  Konstruksi Indonesia (HAKI) Davy Sukamta belum bisa diberlakukan di  Indonesia. Sebab di AS biaya parkir mahal per hari bisa mencapai USD 20.  Tentu itu merupakan lahan bisnis yang menarik sektor swasta untuk  membangun sebuah gedung parkir sendiri untuk disewakan sebab hasilnya  menguntungkan. Sementara di Indonesia biaya parkir murah dan masih  ditentukan oleh pemerintah, sehingga tidak mungkin ada investasi gedung  sendiri untuk lahan parkir seperti di AS.
Meski demikian, kata  dia, memang kelemahan perparkiran di Indonesia sebab peraturan yang ada  masih bersifat kualitatif belum menjelaskan secara detil kuantitatif.
"Saya  yakin sekarang Pemda DKI tidak diam saja dan sedang memperbaiki. Jadi  aturan tentang lahan parkir yang layak dan memenuhi syarat itu harus  detil seperti apa. Namun masalahnya aturan tentang lahan parkir baru  keluar tahun 2007. Padahal mayoritas gedung parkir di Jakarta itu  dibuatnya sudah lama," paparnya.            
(Abdul Malik/Sindo/jri)
Source : OkeZone